Sunday, February 8, 2009

Sebuah kisah


MAAFKAN AKU REY


Aku masih tak paham akan makna semua ini, semuanya teramat berarti dan aku tak mungkin melakukan hal yang dapat membuat semuanya berantakan. Persahabat yang telah lama kami jalin akan hancur begitu saja karena hal yang berkaitan dengan hati.

Andai kau tau, ketika kau datang dan mau bersahabat dengan seseorang seperti aku. Kau tersenyum dengan ulur sapa yang tak mungkin aku lupakan. Semuanya berubah, konsep kehidupan dan alurnya dalam satu kesatuan persahabatan.

Ini bukan masalah siapa dan bagaimana. Ini masalah kepekaan kasih sayang persahabatan dalam sisi sebenarnya. Sahabat bukan untuk memiliki, tapi bagaimana kita merasa kita memiliki dan dimiliki satu sama lain.

Kawan, aku dan dia, saat indah berbagi kisah dengan canda tawa yang selalu memenuhi hari-hari saat bersama, memenuhi ruang kelas dipojok selasar lantai dua, kawasan sekolah menengah unggulan. Aku ada karena dia ada. Itulah sejatinya pikiranku saat ini.

Pagi berlalu seperti sebelum sebelumnya, terik matahari kian menjadi diantara awan gemawan putih. Rey berteriak memanggilku dari koridor atas, entah kenapa aku memilih turun terlebih dahulu meninggalkannya.

“Rifky” teriaknya.

Langkah ku terhenti, beberapa siswa sudah mendahuluiku dan beberapa lagi memilih arah yang berlawanan. Tak peduli, kali ini aku benar-benar mengacuhkan dirinya. Reyta, sahabatku.

Kakinya sudah terlatih, menuruni anak tangga dengan kekuatan berlari penuh, tak peduli jika sesuatu hal terjadi padanya. Reyta berlari menyusulku, melewati beberapa gerombolan siswa lain.

“Rifky, tunggu” rambutnya terurai panjang mengikuti gerak irama derap kakinya. Akhirnya, tangannya berhasil menjangkau pundakku dan membuatku terpaksa menghentikan langkahku.

Aku mencoba menoleh, kutatap wajahnya penuh arti, sungguh aku tak paham dengan diriku akhir-akhir ini. “maaf, untuk kali ini aku terburu-buru,aku segera menggelayut tasku kembali, sebelum aku benar-benar pergi meninggalkannya sendirian.

“Ky ­

Suara itu mengalir bersama angin, semakin jauh dan tak terdengar lagi.

♀♂

Di sudut kamar, aku terpaku, hanya dawai gitar yang bisa kupetik. Ku alunkan sebuah lagu, namun ternyata aku memilih untuk menghentikan semuanya dan membongkar laci lemariku. Hanya sebuah gambar,foto yang telah kita abadikan di puncak gunung bromo beberapa tahun yang lalu.

Akankah aku kehilangan semuanya? Senyum manisnya, tawanya, sikap hangatnya dan hatinya, meskipun hanya sekedar tempat curahan hati tak penting. Saat indah seperti ini, aku ingin sesegera mengulanginya. Menikmati dinginnya pegunungan tengger, hangat dengan batang-batang kayu terbakar sempurna.

Semuanya hanya ilusi, semuanya hanyalah kebodohanku. Kenapa aku tak kuasa meski hanya sekedar memberitahunya jika ada sesuatu hal yang menggangguku selam ini. Perasaan asmara telah mengkontaminasi seluruh jiwa ragaku dan hanya untuknya, tiada yang lain.aku mencitainya sepenuh hati tanpa hiasan gombal. Keberanianlah yang aku tunggu sekarang, semuanya.

♀♂

Aku menyusuri koridor pagi ini, sapa akrab masih sering kulontarkan kepada mereka teman-teman permainnku. Sesaat aku berhenti mendengar suara yang tak asing sama sekali. Ingin sekali aku tak melangkahkan kakiku, tapi, ini pilihan dan aku hanya ingin melihatnya bahagia.

“Rifky, tunggu.” Dia berhasil meraih tanganku, diseretnya aku naik beberapa anak tangga.

Wajahku terpasang kesal, namun senyum hati tak dapat terelakkan.

“kau kenapa? Akhir-akhir ini kau jarang menemaniku, meski itu hanya sekedar ngobrol,” kata-katanya sedikit berintonasi, inilah seorang sahabat sesungguhnya, yang ketika melihat sahabatnya berubah, mereka peduli.

“kau harus tau Rey, aku ingin meneruskan kuliah dan, aku harus lulus dengan good score untuk mendapatkan semuanya.” Aku beranjak.

“yah, aku tau, tapi” suaranya menggantung.

Aku melemparkan tasku keatas meja dan memilih meninggalkan kelas untuk sementara.

“aku rindu kau Ky, rindu kebersamaan kita, rindu saat dimana kita berbagi cerita dibawah pohon mangga di belakang sekolah,” kata-kata itu menyihirku, seolah ada makna lain yang terkandung dari suaranya. Reyta berdiri kosong dibelakangku. “kau telah mengajariku banyak hal tentang kehidupan, kau mengajariku makna dari sebuah persahabatan, kau pernah bilang, sahabat bukan memiliki tapi harus bisa saling memiliki dan dimiliki. Disaat aku telah bisa merasakan, kini kau berubah dan aku merasa sahabat itu telah hilang, hilang akan hal yang aku pun tak tau apa penyebabnya.” Ada air mata di pipinya, ada kekecewaan dalam hatinya, dan aku merasakan semua hal itu. Dia berlari, aku masih terdiam. Baru kali ini aku membuatnya begitu kecewa, dan mungkin inilah satu-satunya cara agar dia membenci dan muak terhadap diriku. Tapi, bagian terdalam hati memberontak, memaksaku mengejarnya, ini semua kesalahpahaman dan aku pun tak mungkin rela kehilangan dirinya karena tingakah kekanak-kanakanku.

Aku melihatnya ditaman belakang sekolah, suasana sepi, karena bel sudah berdering. Reyta duduk terpaku dikursi kayu tua itu, tempat dimana kita sering menghabiskan waktu dengan canda tawa dan sejuta kisah duka cita. Tak kauasa aku melihatnya menangis seperti ini, tanpa pundak yang dapat menyandarkan kepedihannya. Dan pundak ini yang selalu ada, dan akan tetap ada untukmu seorang.

“kau tak pernah mengerti,” kata-kataku tiba-tiba muncul oleh mulut yang digerakkan hati. “seberapa besar aku menyayangimu,” aku hanya berdiri mematung.

Cericit nyanyian burung didahan , melompat kesana kemari satu sama lain. Beberapa daun rontok terhempas angin sepoi, dan mangga kecil yang menggantung bakal menjadi buah yang sempurna.

“kau harus tau, aku“ suaraku berhenti dan tiba-tiba sesak.

Rey berdiri menatapku, sepersekian detik kemudian dibuangnya kembali wajahnya dariku.

“aku ingin kau mengerti rey, tak ada yang lebih aku sayangi kecuali kau, tak ada yang lebih aku pedulikan kecuali kau, dan aku mohon kau mengerti.” Sedikit airmataku menetes tak kuasa, lain hal aku khawatir dengan persahabatan ini dan Reyta akan benar-banar pergi meninggalkanku. Aku tak menginginkan hal itu.

“aku cemburu Rey, kau tau aku cemburu. Kau selalu menumpahkan semua ceritamu tentang Rifan tanpa mempedulikanku. Aku hanya bisa tersenyum, meski itu menyakitkan, dan kau tau kenapa? Karena aku tak sanggup untuk kehilangan dirimu, senyummu diatas segalanya bagiku dan aku ingin melihatmu selalu bahagia.” Hampir tiga tahun aku memendam semua ini, dan sekarang, kenyataannya aku telah mengatakan yang sebenarnya. “Rifan, Rifan dan Rifan tanpa kau pernah berpikir tentang aku yang terdiam tanpa keberanian ingin memilikimu, kau seakan tak peduli akan diriku.

Reyta menatapku, tercekat mendengar semuanya. Air matanya membasahi pipinya, terlihat jelas. Kemudian mendekat dan meluncurkan sebuah tamparan atas pipiku yang sedikit basah. Tak peduli, berapapun tamparan yang ingin rey lakukan, asal aku tak kehilangan dia, sejam, sedetik pun. Reyta berlari, dan entah kemana. Aku hanya terdiam memaku, memandang hina diriku yang telah menodai makna persahabatan ini dengan hal yang tak seharusnya. Reyta sahabatku, akankah kau akan menerimaku sebagai Rifky yang dulu, Rifky yang selalu ada dalam keluh kesah serta tawa candamu?

♀♂

Aku tak melihatnya pagi ini, kelas fisika sudah dimulai. Bu wiji menerangkan beberapa dalil Newton, cara menerangkan sangat profesional dan mudah dipahami, tak ayal jika bu wiji menjadi guru faforit dan menjadikan pelajaran fisika bukan pelajaran yang sulit tapi bisa dibilang pelajaran yang mengasikkan dan mudah.

Hampir 90 menit aku mengalir bersama Bu Wiji, tiba-tiba tiga dari beberapa dari perwakilan osis memohon masuk ke kelas kami. Biasanya jika ada perwakilan osis masuk ke kelas itu berati mereka akan meminta sumbangan untuk mengadakan acara misalkan ketika tim basket sekolah kita melaju kebabak final dan membutuhkan dana pendukung acara tersebut. Tapi kali ini lain, tak ada kotak sumbangan yang mereka bawa, tapi wajah duka yang tersirat dari ke tiganya.

“assalamualaikum warohmatullah hiwabarakatuh” Nizar, salah satu pengurus osis memulai pembicaraan. Kelas terasa sedikit hening, dibelakang Dondik dan Deni masih terdengar bercakap-cakap.

“innalillahi waina illaihi rojiun,” andre diam sejenak, mungkin dia merasa tak kuasa untuk mengatakan hal yang sebenarnya, dan dia perlu mengambil nafas sejenak untuk kemudian dia melanjutkan, “teman kita telah pergi, Reyta mahta syahfitri telah pergi mendahului kita.”

Kelas menjadi ricuh, dan kali ini semuanya memang benar-benar kehilangan. Sosok reyta kini tiada lagi. Sekarang yang tersisa tersisa bangku kosong disampingku dan itulah kenyataannya, bangku itu yang akan menemaniku hingga aku lulus dan tak ada lagi sahabat itu. Reyta, kenapa kau rela meninggalkan aku sendirian?

Entahlah, ini mimpi atau kenyataan aku tak peduli. Rey aku merasa tuhan tak adil, kemarin aku telah menyakiti hatinya dan sekarang, ketika aku belum sempat berucap sesuatu apapun, tuhan telah mengambilnya dariku. Tuhan, aku tak ingin kehilangan dirinya. Aku hanya bisa menatap kosong atas ketidak adilan ini, dan tak tau lagi aku harus berkata apa untuk mengembalikannya.

♀♂

“kakak jahat” Keyta menghadangku ketika aku ingin masuk kekediaman reyta. Tak tau kenapa, tapi aku hanya ingin menebus semua kesalahanku dengan berada disampingnya hingga kita benar-benar berpisah.

“key, kau tak boleh begitu nak, biarkan dia masuk,” wanita paruh baya itu tampak begitu tegar, meski merah matanya tak dapat disembunyikan lagi.

“ma, jangan biarkan dia masuk, dia telah membuat kakak meninggal ma, jangan ma..” keyta menangis.

Ini memang salahku, aku telah merubah keadaan. Tak seharusnya ini terjadi, tak seharusnya tuhan. Aku hanya bisa menangis sekarang dan tak bisa membuat Reyta bangun kembali. Aku duduk dipojokan, diantara keramaian pelayat. Seandainya waktu dapat berputar kembali.

Tiba-tiba, keyta kembali menghampiriku, kali ini dia menyeretku menuju kamarnya melalui pintu samping rumahnya.

Aku tak mengerti apa yang dia inginkan, mungkin saja dia akan mengambil tindakan diluar dugaan. Dia tidak terima kakaknya meninggal dan dia memutuskan untuk membunuhku dengan caranya. Aku pasrah, Keyta keluar dan kemudian masuk lagi dengan sebuah buku coklat bermotif dolphin, hewan yang selama ini menjadi kesenangan Reyta.

“kau tau kak,” Keyta melemparkannya padaku.

Aku diam masih tak mengerti.

“dia selalu mengukir namamu disitu, betapa dia selalu mengaharpkanmu,”

Aku masih belum paham.

“coba kau baca, dan kau akan tahu semuanya. Reyta kecelakaan, dan semua itu karenamu.” Key meninggalkanku sendiri, dan kucoba membuka lembar perlembar catatan reyta.

Tak kuasa aku menorehkan air mata hingga membasahi lembaran-lembarannya. Tulisannya kabur dan hampir tak terbaca karena terbasahi dengan air mata penyesalan. Selama ini dia menunggu, mengharap diriku yang tak mengerti dan tak pernah mengerti.

Semakin jauh aku tesungkur, kenapa ini harus terjadi padaku? Ini salahku, dan sekarang aku hanya bisa melihat seonggok badan tak bernyawa yang tak lagi bisa tau, bahwa aku juga sangat mencintainya. Maafkan aku Rey.

♀♂

Kini,

Tak ada lagi canda tawa itu

Camar telah menjadi pelatuk

Tak ada lagi keindahan

Tercipta atas senyum seorang sahabat

Tatapan kosong seorang sahabat

Menyisakan cerita akhir persahabatan.

Bangkalan, 18 Desember 2008

0 comments: