Monday, November 29, 2010

Muntilan Malam Itu

gerbong terakhir tertarik pelan

berdericit mengikuti irama rem

di depan lokomotif bersiul

tut.... pertanda sinyal belum aman


sebelas jam menuju jogjakarta

dengan logawa kereta pagi

klakah sidoarjo surabaya madiun solo jogja purwokerto

bercerita dengan asongan penjual kacang


"mas mau kemana?" tanyanya lugu, "kacang mas?" tawarnya lagi

"terimakasih, mau ke magelang pak."

"ngapain mas?"

"demi menepati janji pak, kacangnya satu pak."


ia pergi setelah seribu rupiah ku kasih

kacang rebus teman perjalanku

untuk sebuah janji

atas nama persahabatan


jogjakarta jam lima sore

sejenak melintas malioboro

menuju magelang penuh perjuangan

meski harus naik angkot tidak berlabel malam hari

senyumku tetap mengembang


perempatan muntilan itu

aku masih menunggu

seakan aku terlantar

tanpa hirauan dan janji seperti terhempas


aku putuskan untuk menunggu

dua belas malam masih diperempatan

ojek menawari ku kan kemana

tapi aku diam menolak


oh, ternyata seperti ini

tak apalah

aku tak dihargai

yang jelas aku sudah datang


kaki melangkah

entah kemana di muntilan yang tak ku ketahui

beruntung bertemu malaikat kecil teman relawan

membawaku pergi ke Ngluwar juga


sekarang

aku mengerti

tak akan aku marah

tak akan pula aku dendam


biarlah

mungkin ada kesibukan atas dirinya

atau abu telah membawanya melayang jauh

dan tak peduli keberadaanku


lalu aku Bertanya dalam hati

AKU INI SIAPA?


NJELEIY!

Kec. Ngluwar Magelang, 18 November 2010

Wednesday, November 24, 2010

Cerita Dari Magelang


Ruas jalan menuju Magelang tertutup debu yang bertebangan keasana kemari mempengaruhi jarak pandang pengendara. Atap rumah putih karena abu, pohon-pohon bertumbangan juga karena abu. Maha dahsyat kekuatannya kali ini. Sampai kapan semuanya ini akan berakhir. Ketika Merapi mulai beraksi, semuanya ciut tidak ada apa-apanya kecuali berserah diri pada pemiliknya.

Beberapa hari suasana gelap, Muntilan seakan mati. Abu tak henti-hentinya turun. Masih saja terdengar gemuruh jum’at malam itu. Ketika harus dihadapkan pada kenyataan, kerikil, pasir dan abu vulkanik mengguyur dahsyat beserta awan panas yang enggan berkompromi lagi.

Ratusan orang harus meregang nyawa terpanggang diatas suhu rata-rata. Barak penuh pengungsi. Para lansia berjalan tertatih, anak kecil enggan tertawa lagi, ibu hamil hanya bisa berdoa, dan para lelaki sibuk berjaga dan waspada, akan ada apa lagi setelahnya?

Terketuk pun hati para relawan mulia untuk terjun mengurus mereka. Tak perlu dibayar, melihat mereka (korban) bisa tersenyum lagi adalah imbalan yang tak terhingga bagi mereka. Siang malam sibuk memantau, menyiapkan makanan, mengurusi kebutuhan mereka, menggalang dana dan logistic. Semua mereka lakukan hanya demi para korban tak berdosa.

Merapi masih mengeluarkan awan panasnya ketika saya meninggalkan Magelang. Hujan abu enggan berhenti meski sejenak. Tawa canda anak-anak kecil di pengungsian sekan melarangku pergi. Tak kuasa hati untuk beranjak, hanya doa yang selalu kuhatur agar semuanya lekas berakhir. Keretaku menjauh meninggalkan Jogjakarta, membawa cerita yang tak akan pernah aku lupakan. Semoga ada hikmah dibalik semua ini. Amin.