Wednesday, November 24, 2010

Cerita Dari Magelang


Ruas jalan menuju Magelang tertutup debu yang bertebangan keasana kemari mempengaruhi jarak pandang pengendara. Atap rumah putih karena abu, pohon-pohon bertumbangan juga karena abu. Maha dahsyat kekuatannya kali ini. Sampai kapan semuanya ini akan berakhir. Ketika Merapi mulai beraksi, semuanya ciut tidak ada apa-apanya kecuali berserah diri pada pemiliknya.

Beberapa hari suasana gelap, Muntilan seakan mati. Abu tak henti-hentinya turun. Masih saja terdengar gemuruh jum’at malam itu. Ketika harus dihadapkan pada kenyataan, kerikil, pasir dan abu vulkanik mengguyur dahsyat beserta awan panas yang enggan berkompromi lagi.

Ratusan orang harus meregang nyawa terpanggang diatas suhu rata-rata. Barak penuh pengungsi. Para lansia berjalan tertatih, anak kecil enggan tertawa lagi, ibu hamil hanya bisa berdoa, dan para lelaki sibuk berjaga dan waspada, akan ada apa lagi setelahnya?

Terketuk pun hati para relawan mulia untuk terjun mengurus mereka. Tak perlu dibayar, melihat mereka (korban) bisa tersenyum lagi adalah imbalan yang tak terhingga bagi mereka. Siang malam sibuk memantau, menyiapkan makanan, mengurusi kebutuhan mereka, menggalang dana dan logistic. Semua mereka lakukan hanya demi para korban tak berdosa.

Merapi masih mengeluarkan awan panasnya ketika saya meninggalkan Magelang. Hujan abu enggan berhenti meski sejenak. Tawa canda anak-anak kecil di pengungsian sekan melarangku pergi. Tak kuasa hati untuk beranjak, hanya doa yang selalu kuhatur agar semuanya lekas berakhir. Keretaku menjauh meninggalkan Jogjakarta, membawa cerita yang tak akan pernah aku lupakan. Semoga ada hikmah dibalik semua ini. Amin.

0 comments: