Saturday, February 28, 2009

Nederlands en fiets

Nederland en Fietsen

Wanneer kom je naar het land windmolen, hoeft u niet verwonderlijk als er veel fietsers op de belangrijkste straten van de stad en zelfs dorp. Fietsen zijn hier al een belangrijke vorm van transport als aanvulling op gemotoriseerd vervoer. Rente, goedkoop, niet verontreinigen het milieu en gezond die ten grondslag liggen aan hen kiezen voor het gebruik van een fiets op de auto van BMW dat duurder.

Op het parkeerterrein station, restaurants, scholen en universiteiten in de functie tot een regering zien we de fiets diparkir netjes. Het is bewezen dat de fiets het vervoer is nog steeds een populair en er is geen onderscheid tussen de modellen voor het vervoer in Nederland is gezond.

Kanaal-specifieke kanalen zijn ook in Nederland alleen. De manier waarop de rode, blauwe borden hebben foto's en de fiets. Ander voertuig dan een fiets kan niet rijden op rode routes. Als beperkingen moeten door paden met voertuigen die gewoonlijk niet-fiets brug of tunnel. Dit maakt de bestuurder het gevoel veilig en comfortabel fietsen en hoeft niet te zorgen dat weer dodelijke ongeval.

Maar in Indonesiƫ, de enige landelijke gemeenschappen die nog steeds gebruik van de fiets als een fiets, ondanks het bestaan van de fabriek begonnen menghipnotis dorp. De meeste mensen nu het gevoel prestige fiets. Zij geven de voorkeur aan een motorfiets, en zelfs een auto gewoon naar de afstand tot de markt in de buurt van het huis.

Als mensen kunnen gaan naar Indonesiƫ als Nederlanders, de luchtvervuiling kan worden, storingsuitrusting kan worden geminimaliseerd. Deze gezonde en de meest belangrijke brandstof ngirit in het land van bestemming. Misschien moeten we imiteren de voormalige kolonisator landen we zijn. Laten we nu eens beginnen met fietsen. We kunnen beginnen kekantor als je wilt gaan, naar school, op de markt te brengen, en betaalbare plaatsen met goedkopere en gezond is.

Rifki Aris Sandi

Friday, February 20, 2009

13

13

entah kenapa 13 bisa menyihirku
sial,
kenapa aku harus tergila-gila akan 13
bukankah 13 itu angka sial?
ah, itu tidak bagiku

13 angka penuh misteri
dalam abjad hati nurani
13 membuatku terlena
dalam langkah yang kian rancu

ah TIGA BELAS
indah dan memagut
mesra dan pasrah
dalam bayang yang selalu semu.

Friday, February 13, 2009

Emosi Kstria sejati

EMOSI KSATRIA SEJATI

aku benci semua ini
aku benci
benci

kenapa aku harus melakukan kebodohan ini?
apakah karena aku terlalu ingin memilikinya?
apakah aku terlalu menuruti ego yang terjangkit karenanya?

dia
hanya namanya yang terlalu aku banggakan
hanya emosinya yang aku elukan
emosi ksatria sejati

angin...
kabarkan padanya
hingga benci ini hilang
berganti senyum semilir sepoi
melantunkan lagu alam

aku dan dia
akan abadi...
meski orang akan berkata lain...

Sunday, February 8, 2009

Sebuah kisah


MAAFKAN AKU REY


Aku masih tak paham akan makna semua ini, semuanya teramat berarti dan aku tak mungkin melakukan hal yang dapat membuat semuanya berantakan. Persahabat yang telah lama kami jalin akan hancur begitu saja karena hal yang berkaitan dengan hati.

Andai kau tau, ketika kau datang dan mau bersahabat dengan seseorang seperti aku. Kau tersenyum dengan ulur sapa yang tak mungkin aku lupakan. Semuanya berubah, konsep kehidupan dan alurnya dalam satu kesatuan persahabatan.

Ini bukan masalah siapa dan bagaimana. Ini masalah kepekaan kasih sayang persahabatan dalam sisi sebenarnya. Sahabat bukan untuk memiliki, tapi bagaimana kita merasa kita memiliki dan dimiliki satu sama lain.

Kawan, aku dan dia, saat indah berbagi kisah dengan canda tawa yang selalu memenuhi hari-hari saat bersama, memenuhi ruang kelas dipojok selasar lantai dua, kawasan sekolah menengah unggulan. Aku ada karena dia ada. Itulah sejatinya pikiranku saat ini.

Pagi berlalu seperti sebelum sebelumnya, terik matahari kian menjadi diantara awan gemawan putih. Rey berteriak memanggilku dari koridor atas, entah kenapa aku memilih turun terlebih dahulu meninggalkannya.

“Rifky” teriaknya.

Langkah ku terhenti, beberapa siswa sudah mendahuluiku dan beberapa lagi memilih arah yang berlawanan. Tak peduli, kali ini aku benar-benar mengacuhkan dirinya. Reyta, sahabatku.

Kakinya sudah terlatih, menuruni anak tangga dengan kekuatan berlari penuh, tak peduli jika sesuatu hal terjadi padanya. Reyta berlari menyusulku, melewati beberapa gerombolan siswa lain.

“Rifky, tunggu” rambutnya terurai panjang mengikuti gerak irama derap kakinya. Akhirnya, tangannya berhasil menjangkau pundakku dan membuatku terpaksa menghentikan langkahku.

Aku mencoba menoleh, kutatap wajahnya penuh arti, sungguh aku tak paham dengan diriku akhir-akhir ini. “maaf, untuk kali ini aku terburu-buru,aku segera menggelayut tasku kembali, sebelum aku benar-benar pergi meninggalkannya sendirian.

“Ky ­

Suara itu mengalir bersama angin, semakin jauh dan tak terdengar lagi.

♀♂

Di sudut kamar, aku terpaku, hanya dawai gitar yang bisa kupetik. Ku alunkan sebuah lagu, namun ternyata aku memilih untuk menghentikan semuanya dan membongkar laci lemariku. Hanya sebuah gambar,foto yang telah kita abadikan di puncak gunung bromo beberapa tahun yang lalu.

Akankah aku kehilangan semuanya? Senyum manisnya, tawanya, sikap hangatnya dan hatinya, meskipun hanya sekedar tempat curahan hati tak penting. Saat indah seperti ini, aku ingin sesegera mengulanginya. Menikmati dinginnya pegunungan tengger, hangat dengan batang-batang kayu terbakar sempurna.

Semuanya hanya ilusi, semuanya hanyalah kebodohanku. Kenapa aku tak kuasa meski hanya sekedar memberitahunya jika ada sesuatu hal yang menggangguku selam ini. Perasaan asmara telah mengkontaminasi seluruh jiwa ragaku dan hanya untuknya, tiada yang lain.aku mencitainya sepenuh hati tanpa hiasan gombal. Keberanianlah yang aku tunggu sekarang, semuanya.

♀♂

Aku menyusuri koridor pagi ini, sapa akrab masih sering kulontarkan kepada mereka teman-teman permainnku. Sesaat aku berhenti mendengar suara yang tak asing sama sekali. Ingin sekali aku tak melangkahkan kakiku, tapi, ini pilihan dan aku hanya ingin melihatnya bahagia.

“Rifky, tunggu.” Dia berhasil meraih tanganku, diseretnya aku naik beberapa anak tangga.

Wajahku terpasang kesal, namun senyum hati tak dapat terelakkan.

“kau kenapa? Akhir-akhir ini kau jarang menemaniku, meski itu hanya sekedar ngobrol,” kata-katanya sedikit berintonasi, inilah seorang sahabat sesungguhnya, yang ketika melihat sahabatnya berubah, mereka peduli.

“kau harus tau Rey, aku ingin meneruskan kuliah dan, aku harus lulus dengan good score untuk mendapatkan semuanya.” Aku beranjak.

“yah, aku tau, tapi” suaranya menggantung.

Aku melemparkan tasku keatas meja dan memilih meninggalkan kelas untuk sementara.

“aku rindu kau Ky, rindu kebersamaan kita, rindu saat dimana kita berbagi cerita dibawah pohon mangga di belakang sekolah,” kata-kata itu menyihirku, seolah ada makna lain yang terkandung dari suaranya. Reyta berdiri kosong dibelakangku. “kau telah mengajariku banyak hal tentang kehidupan, kau mengajariku makna dari sebuah persahabatan, kau pernah bilang, sahabat bukan memiliki tapi harus bisa saling memiliki dan dimiliki. Disaat aku telah bisa merasakan, kini kau berubah dan aku merasa sahabat itu telah hilang, hilang akan hal yang aku pun tak tau apa penyebabnya.” Ada air mata di pipinya, ada kekecewaan dalam hatinya, dan aku merasakan semua hal itu. Dia berlari, aku masih terdiam. Baru kali ini aku membuatnya begitu kecewa, dan mungkin inilah satu-satunya cara agar dia membenci dan muak terhadap diriku. Tapi, bagian terdalam hati memberontak, memaksaku mengejarnya, ini semua kesalahpahaman dan aku pun tak mungkin rela kehilangan dirinya karena tingakah kekanak-kanakanku.

Aku melihatnya ditaman belakang sekolah, suasana sepi, karena bel sudah berdering. Reyta duduk terpaku dikursi kayu tua itu, tempat dimana kita sering menghabiskan waktu dengan canda tawa dan sejuta kisah duka cita. Tak kauasa aku melihatnya menangis seperti ini, tanpa pundak yang dapat menyandarkan kepedihannya. Dan pundak ini yang selalu ada, dan akan tetap ada untukmu seorang.

“kau tak pernah mengerti,” kata-kataku tiba-tiba muncul oleh mulut yang digerakkan hati. “seberapa besar aku menyayangimu,” aku hanya berdiri mematung.

Cericit nyanyian burung didahan , melompat kesana kemari satu sama lain. Beberapa daun rontok terhempas angin sepoi, dan mangga kecil yang menggantung bakal menjadi buah yang sempurna.

“kau harus tau, aku“ suaraku berhenti dan tiba-tiba sesak.

Rey berdiri menatapku, sepersekian detik kemudian dibuangnya kembali wajahnya dariku.

“aku ingin kau mengerti rey, tak ada yang lebih aku sayangi kecuali kau, tak ada yang lebih aku pedulikan kecuali kau, dan aku mohon kau mengerti.” Sedikit airmataku menetes tak kuasa, lain hal aku khawatir dengan persahabatan ini dan Reyta akan benar-banar pergi meninggalkanku. Aku tak menginginkan hal itu.

“aku cemburu Rey, kau tau aku cemburu. Kau selalu menumpahkan semua ceritamu tentang Rifan tanpa mempedulikanku. Aku hanya bisa tersenyum, meski itu menyakitkan, dan kau tau kenapa? Karena aku tak sanggup untuk kehilangan dirimu, senyummu diatas segalanya bagiku dan aku ingin melihatmu selalu bahagia.” Hampir tiga tahun aku memendam semua ini, dan sekarang, kenyataannya aku telah mengatakan yang sebenarnya. “Rifan, Rifan dan Rifan tanpa kau pernah berpikir tentang aku yang terdiam tanpa keberanian ingin memilikimu, kau seakan tak peduli akan diriku.

Reyta menatapku, tercekat mendengar semuanya. Air matanya membasahi pipinya, terlihat jelas. Kemudian mendekat dan meluncurkan sebuah tamparan atas pipiku yang sedikit basah. Tak peduli, berapapun tamparan yang ingin rey lakukan, asal aku tak kehilangan dia, sejam, sedetik pun. Reyta berlari, dan entah kemana. Aku hanya terdiam memaku, memandang hina diriku yang telah menodai makna persahabatan ini dengan hal yang tak seharusnya. Reyta sahabatku, akankah kau akan menerimaku sebagai Rifky yang dulu, Rifky yang selalu ada dalam keluh kesah serta tawa candamu?

♀♂

Aku tak melihatnya pagi ini, kelas fisika sudah dimulai. Bu wiji menerangkan beberapa dalil Newton, cara menerangkan sangat profesional dan mudah dipahami, tak ayal jika bu wiji menjadi guru faforit dan menjadikan pelajaran fisika bukan pelajaran yang sulit tapi bisa dibilang pelajaran yang mengasikkan dan mudah.

Hampir 90 menit aku mengalir bersama Bu Wiji, tiba-tiba tiga dari beberapa dari perwakilan osis memohon masuk ke kelas kami. Biasanya jika ada perwakilan osis masuk ke kelas itu berati mereka akan meminta sumbangan untuk mengadakan acara misalkan ketika tim basket sekolah kita melaju kebabak final dan membutuhkan dana pendukung acara tersebut. Tapi kali ini lain, tak ada kotak sumbangan yang mereka bawa, tapi wajah duka yang tersirat dari ke tiganya.

“assalamualaikum warohmatullah hiwabarakatuh” Nizar, salah satu pengurus osis memulai pembicaraan. Kelas terasa sedikit hening, dibelakang Dondik dan Deni masih terdengar bercakap-cakap.

“innalillahi waina illaihi rojiun,” andre diam sejenak, mungkin dia merasa tak kuasa untuk mengatakan hal yang sebenarnya, dan dia perlu mengambil nafas sejenak untuk kemudian dia melanjutkan, “teman kita telah pergi, Reyta mahta syahfitri telah pergi mendahului kita.”

Kelas menjadi ricuh, dan kali ini semuanya memang benar-benar kehilangan. Sosok reyta kini tiada lagi. Sekarang yang tersisa tersisa bangku kosong disampingku dan itulah kenyataannya, bangku itu yang akan menemaniku hingga aku lulus dan tak ada lagi sahabat itu. Reyta, kenapa kau rela meninggalkan aku sendirian?

Entahlah, ini mimpi atau kenyataan aku tak peduli. Rey aku merasa tuhan tak adil, kemarin aku telah menyakiti hatinya dan sekarang, ketika aku belum sempat berucap sesuatu apapun, tuhan telah mengambilnya dariku. Tuhan, aku tak ingin kehilangan dirinya. Aku hanya bisa menatap kosong atas ketidak adilan ini, dan tak tau lagi aku harus berkata apa untuk mengembalikannya.

♀♂

“kakak jahat” Keyta menghadangku ketika aku ingin masuk kekediaman reyta. Tak tau kenapa, tapi aku hanya ingin menebus semua kesalahanku dengan berada disampingnya hingga kita benar-benar berpisah.

“key, kau tak boleh begitu nak, biarkan dia masuk,” wanita paruh baya itu tampak begitu tegar, meski merah matanya tak dapat disembunyikan lagi.

“ma, jangan biarkan dia masuk, dia telah membuat kakak meninggal ma, jangan ma..” keyta menangis.

Ini memang salahku, aku telah merubah keadaan. Tak seharusnya ini terjadi, tak seharusnya tuhan. Aku hanya bisa menangis sekarang dan tak bisa membuat Reyta bangun kembali. Aku duduk dipojokan, diantara keramaian pelayat. Seandainya waktu dapat berputar kembali.

Tiba-tiba, keyta kembali menghampiriku, kali ini dia menyeretku menuju kamarnya melalui pintu samping rumahnya.

Aku tak mengerti apa yang dia inginkan, mungkin saja dia akan mengambil tindakan diluar dugaan. Dia tidak terima kakaknya meninggal dan dia memutuskan untuk membunuhku dengan caranya. Aku pasrah, Keyta keluar dan kemudian masuk lagi dengan sebuah buku coklat bermotif dolphin, hewan yang selama ini menjadi kesenangan Reyta.

“kau tau kak,” Keyta melemparkannya padaku.

Aku diam masih tak mengerti.

“dia selalu mengukir namamu disitu, betapa dia selalu mengaharpkanmu,”

Aku masih belum paham.

“coba kau baca, dan kau akan tahu semuanya. Reyta kecelakaan, dan semua itu karenamu.” Key meninggalkanku sendiri, dan kucoba membuka lembar perlembar catatan reyta.

Tak kuasa aku menorehkan air mata hingga membasahi lembaran-lembarannya. Tulisannya kabur dan hampir tak terbaca karena terbasahi dengan air mata penyesalan. Selama ini dia menunggu, mengharap diriku yang tak mengerti dan tak pernah mengerti.

Semakin jauh aku tesungkur, kenapa ini harus terjadi padaku? Ini salahku, dan sekarang aku hanya bisa melihat seonggok badan tak bernyawa yang tak lagi bisa tau, bahwa aku juga sangat mencintainya. Maafkan aku Rey.

♀♂

Kini,

Tak ada lagi canda tawa itu

Camar telah menjadi pelatuk

Tak ada lagi keindahan

Tercipta atas senyum seorang sahabat

Tatapan kosong seorang sahabat

Menyisakan cerita akhir persahabatan.

Bangkalan, 18 Desember 2008

Thursday, February 5, 2009

Cerpen Dari Bali


Kisah kecil sebuah persahabatan


Dericit pelan kereta mulai melaju, meninggalkan stasiun klakah. Yanuar, Rifky dan Hendra memulai perjalannya pertamanya menuju pulau dewata bali. Siluet fajar tergambar jelas di ufuk timur. Sawah masih basah, kereta pagi Probowangi membawa mereka 4 jam penuh ke arah banyuwangi.

“kau sudah menghubungi Iwan?” Rifki hanya sekedar mengingatkan, secara, kalau Iwan-nya gak ada, nah di bali mau nginep dimana?

Dengan sesegera mungkin Yanuar mengambil hp nya, pencet beberapa tombol kemudian mendekatkan hp ketelingnya.

Hendra terlihat sedang asyik menikmati perjalanan, kadang dia mengambil camera pocketnya untuk take gambar yang sekiranya good looking. Dia juga paling narsis diantara Yanuar dan Rifky. Maklumlah, sebelumnya dia juga pernah menjadi model, meski kelasnya kelas kabupaten, jadi nggak salah kalau dia suka photo-photo.

Disebelahnya, rifky berkonsentrasi dengan novelnya yang dari beberapa hari yang lalu belum kelar juga bacanya. Kacamatanya juga menandakan kalau dia emang sosok remaja yang bisa dibilang kutu buku gitu.

“gimana yan?”

“beres bos, kita tinggal masuk aja kok.” Tegas laki-laki perawakan tinggi kurus ini. Katanya sih dia mirip Fedi nuril, ada juga yang bilang dia mirip Ruben Joshua. Nah loh, berarti keren banget dong? Gak juga sih, biasa aja.

Tepat pukul 11.05 kereta sudah sampai di stasiun Banyuwangi Baru. Seperti semut keluar dari sarangnya, tua muda berebut turun.

“pelabuhan, pelabuhan” seru beberapa kuli angkat barang juga beberapa tukang becak. Tak ketinggalan, kenek angkot berebut penumpang tujuan kota.

Hendra menarik nafas panjang, “kita kemana Rif?”

Dari ketiganya, hanya rifki yang berpengalaman ke bali. Rifki memang pernah kerja di bali selama tiga bulan, namun karena hal yang tidak diinginkan terjadi, rifki terpaksa pulang. Bukan karena menghamili bule atau putri bali, tapi rifki sudah putus asa tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang layak di bali. Bali yang diharapkan membawa rezeki malah membawa bencana.

Dari stasiun bali, sekitar lima menit jalan kaki, pelabuhan ketapang sudah didepan mata. Ditiga dermaga sudah ada kapal yang bersandar. Mobil, Bus, Truk dan kendaraan lain mengantri masuk kedalam kapal.

“akhirnya, bali men..” seru Hendra, tampak senyum riang diwajahnya. Birunya selat bali, membuat mereka langsung bergegas ingin menyebrang.

Dua puluh menit menyebrang, menyisakan kenangan indahnya selat bali. Kini mereka harus mengambil kendaraan lain, bus mini. Dari terminal Gilimanuk, dengan 20 ribu rupiah mereka akhirnya meluncur ke arah Denpasar kurang lebih tiga jam.

Diperjalanan, dengan bibir sedikit terbuka yanuar tidur terlelap, Hari sudah semakin petang ketika bus memasuki terminal ubung, Denpasar. Inilah akhir dari perjalan panjang yang melelahkan itu. Dan besok mereka akan menikmati bali yang sesungguhnya.

Rifky tak tau seperti apa Iwan, begitu pun Hendra, hanya Yanuar yang mengenalnya. Iwan teman Yanuar di Banyuwangi. Maklum Yanuar memang penduduk asli Banyuwangi yang bertemu dengan dua sahabatnya Rifki dan Hendra di Lumajang tanpa disengaja.

Menurut cerita Yanuar, sesosok Iwan adalah sosok orang yang pernah menyatakan cinta padanya. Oh, tuhan, kalau begitu Yanuar homo dong? Ah, nggak juga. Yanuar bukan homo, siapa juga yang mau menjalani cinta terlarang itu. Dengan pelan, Otomatislah yanuar menolak dengan sopan permintaan Iwan, dan untunglah persahabatan mereka nggak hancur, Iwan mengerti. Teman-teman yang lain yang juga sudah tau, Iwan itu seperti apa dan bagaimana, so Iwan tetap diterima dalam teman-temannya meski memiliki kelainan hati dan juga tak seharusnya dia didiskriminasikan. Setelah lulus sekolah, Iwan langsung memutuskan untuk kerja di bali ikut kakak-kakaknya yang sudah mendiami bali sejak lama.

Setelah menunggu beberapa lama, Iwan datang juga dengan sepeda motornya. Hidungnya yang agak maju, serta penampilannya orang nggak akan tau kalau iwan itu seorang gay. Tapi biarlah, orang punya jalan hidupnya masing-masing. Life is choise.

20 menit kearah Sanur, akhirnya sampai juga di kediamannya. Tas ransel dipunggung sudah terasa amat berat, badan gerah, juga bau. Beberapa mata memandang, maklum rumahnya dekat dengan beberapa tempat kos. Bahakan ada yang berceloteh “waduh wan, dapat brondong-brondong dari mana?” mereka bertiga hanya diam mengikuti alur berikutnya, sempat terpikir dalam hati rifki, apakah kita disangka gay juga yah??

Dengan ramah, mbok nah kakak tertua Iwan menyambut mereka. Setelah membersihkan badan dan lain-lain, terbesit perasaan khawatir diantara mereka, masih tak percaya dengan kehadiran Iwan. Untunglah, malam itu tak ada kejadian yang patut dikhawatirkan selain tidur nyenyak.

Rifky tau, semalaman Iwan pergi entah kemana, dan pulang sekitar subuh, maklum hanya Rifky yang mempunyai kepekaan super baik dalam tidurnya maupun hidupnya. Dilihat dari penampilan dan aroma minuman keras, bisa diterka, Iwan telah menghabiskan malamnya di diskotik.

Ayam telah berkokok, mereka tak mau ketinggalan suasana sunrise pantai sanur, meskipun hanya cucimuka seadanya, ketiga sahabat itupun berlari menyusuri jalan-jalan bersih kearah sanur. Betapa indahnya Pantai Sanur pagi hari, panorama matahari terbit menyisakan siluet fajar yang indah dan debur ombak diantara pasir putih memecah karang.

“nggak nyangka, kita bisa kesini ya ki.” ucap yanuar yang sedang bermain-main dengan bintang laut. Di kejauhan hendra asyik bermain-main dengan ombak.

“kamu masih belum tau kute, uluwatu dan yang lain-lain. Lebih bagus dari pada ini yan.” Rifki sok tau.

Sekembalinya dari sanur, Iwan masih saja tergeletak tidur. Untunglah Yanuar ingat, hari itu hari ulang tahunya. Rifki sudah membeli beberapa telur dan tepung, buat surprise pagi hari. Seperti serangan akan melakukan serangan fajar, mereka merencanakan sesuatu.

“wan, bangun yuk, wan,” yanuar mencoba membangunkannya sesuai rencana.

Iwan mengucek matanya, kesadarannya belum lengkap ketika dia memilih untuk duduk sejenak dan beranjak ke kamar mandi. Sesegera mungki yanuar mengikutinya, dari depan kamar mandi hendra melemparkan tepung yang telah dibasahi sebelumnya, yanuar dan rifki melempar tepat telur ayam kearah kepala dan tubuhnya.

“Happy birthday….” teriak mereka kompak. Kamar jadi ricuh, iwan berusaha membalas, teriakan, tawa canda pagi hari, hingga akhirnya semuanya pun berputih-putih dan beramis-amis ria.

Semuanya berakhir, sesuai rencana, hari ini mereka ber-empat termasuk Iwan akan berkeliling bali, tapi, habis membersihkan semuanya, Iwan kembali keperduannya, Tidur. Iwan hanya pesan, Jam empat harus jemput dia dan menikmati sunsite di kute bersama.

Tanpa pikir panjang, mereka pun melaju dengan motor. Sebagai penunjuk arah Rifki memilih mengendarai motornya sendirian. Sedang Hendra dan Yanuar memilih berboncengan. Melewati By Pass Ngurahrai, motor melaju kencang kearah pantai kute. Keramaian mulai tampak ketika melewati jalan Bakung Sari terus melewati pasar seni kute belok kearah kute square dan melaju menuju pantai. Maklum, kute sudah terkenal di seantero dunia, pantai ini tak pernah sepi, meskipun cuaca panas sekalipun, bule-bule australi, amerika, eropa, dan asia bahkan local berkumpul disini dan berjemur, lay under sunlight.

Dari kuta beach, mereka meluncur kearah Jimbaran. Tujuan : Nusa Dua. Suasana Nusa Dua memang berbeda dengan suasana Pantai lainya. Sebelum memasuki areal pantai kita disuguhi suasana Taman yang asri dan tertata rapi mempesona. Di sana juga berdiri hotel-hotel berbintang juga shopping area di dalamnya.

Pantainya bersih dan lumayan sepi dari pada kute yang sangat ramai disiang hari. Terdapat dua pulau kecil di Nusa Dua dan mungkin itulah kenapa nama pantai ini disebut Nusa Dua. Terik matahari tak membuat mereka berteduh, tetapi mereka malah asiik manghabiskan waktunya bermain pasir, menerjang ombak dan yang terpenting adalah taking picture’s.

Hampir dua jam meraka disana, kemuadian mereka beranjak ke Pura Uluwatu yang hanya berjarak 30 menit by motor. Jalannya penuh tanjakan dan menawarkan pemandangan alami yang indah dan mengagumkan. Melewati Universitas Udayana, hingga Garuda Wisnu Kencana dan sampailah di tempat tujuan.

Uluwatu adalah salah satu pura yang berdiri tepat di tebing terjal. Siapa saja yang memasuki areal Pura Uluwatu wajib mengenakan sarung yang sudah disediakan pihak Pura. Kera-kera berkeliaran dimana-mana, tenang dan tak membuat mereka merasa terganggu itulah kuncinya supaya mereka juga merasa tenang, tapi, terkadang mereka tiba-tiba menyambar makanan beberapa pengunjung.

Puas di Uluwatu, mereka meneruskan perjalannya ke Dream Land tak jauh dari Uluwatu. This is real paradise. Indahnya pantai diantara terbing-tebing terjal nun tinggi menciptakan pemandangan yang luar biasa. Diantara karang-karang apik, putih besih pasir dan debur ombak yang sempurna. Inilah dunia, dunia mimpi.

Hampir lima jam mereka menghabiskan waktu disini. Puas menikmati keindahan yang tak terkalahkan apapun. Meraka pun harus segera beranjak. Sebentar lagi matahari bakal terbenam, moment itu jangan sampai terlewatkan, dan kute adalah tempat sesungguhnya untuk menikmati hal tersebut.

Dengan menancap gas, motor melaju. Rifki memilih melaju terlebih dahulu, dia ingat mereka harung menjemput Iwan terlebih dahulu, itulah sebabnya Rifki menancapkan gasnya dalam-dalam.

Dalam perjalanan, Yanuar dan Hendra tak kunjung terlihat dalam kaca spion setelah ditikungan itu, merasa khawatir Rifki memutuskan berhenti sejenak di pintu gerbang Pecatu. Beberapa saat menunggu, Hendra dan Yanuar tak sedikit pun menunjukkan batang hidungnya. Hp mereka juga tidak ada yang aktif. Tanpa pikir panjang Rifki kembali arah.

Agak jauh dari Pecatu, Rifki menemukan mereka sedang mendorong motor yang dikendarainya.

“kalian kenapa?” Tanya rifki sedikit kaget melihat yanuar berjalan dengan sedikit pincang dan ada luka lecet di siku hendra.

“kita terjatuh tadi, aku berusaha memanggil kamu, tapi kamu nggak dengar,” jelas Yanuar sembari memposisikan dirinya duduk dibawah pohon bersarung kotak putih hitam khas bali.

Untunglah sepeda yang dipakai hanya patah sepion, untung yang kedua sepeda yang kendarai bukan sepeda sewaan seperti yang Rifki pakai, dan untung yang ketiga, mereka selamat, tak ada cedera serius diantaranya.

“tadi pas kita terjatuh, ada orang bali asli yang nolongin kita, tau nggak dia bilang apa?” yanuar berceloteh.

“iya beneran ki, ternyata kalo kita lewat ditikungan itu kita kudu bunyi’in klakson, katanya sih ada penunggunya,” sambung hendra.

Alis Rifki terangkat, tiba-tiba tersenyum kecil, “sudahlah, bali memang menyimpan misteri dibalik keindahannya, dan mungkin ini pelajaran buat kalian,”

“apa ini gara-gara kita gak bilang terus terang tentag kepergian kita sama orang tua ku ya ki?” hendra tiba-tiba berpikir yang aneh-aneh, tapi memang benar, kita hanya pamit mau mengunjungi rumah yanuar selama beberapa hari di Banyuwangi bukan ke Bali. Bisa jadi Ini peringatan untuk segera pulang.

Dari bengkel ke bengkel, mencari onderdil yang murah, akhirnya kelar juga. Dan mereka pun memutuskan untuk segera kembali pulang. Hari sudah petang, matahari otomatis sudah terbenam di ujung Kute.

Wajah mereka terlihat berbeda dari sebelumnya. Lecek, bau dan asin. Seharian mereka mandi air laut. Seperti orang tak bersalah, yanuar menceritakan semuanya. Untunglah Iwan mengerti, lain lagi hendra yang semenjak tiba di rumah, hp nya tak henti-hentinya berdering. Keluarganya memastikan keberadaannya.

Mbok nah penuh perhatian merawat luka Yanuar dan Hendra. Mbok nah merasa mereka sudah seperti adiknya sendiri. Keesokan harinya, setelah memuaskan diri di Sanur, setelah membeli beberapa cendera mata buat kenang-kenangan, juga buat kedua sahabat perempuan mereka. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk pulang.

Mbok nah melarang kami pulang, mengingat kondisi Yanuar dengan lukanya yang membuat jalannya sedikit pincang. Tapi mau bagaimana lagi, mereka memilih pulang, apalagi keluarga Hendra memintanya segera pulang.

Meskipun hanya menikmati beberapa objek wisata, kepuasan akan Bali sedikit merasuk dihati mereka. Dengn menggunakan Bus tujuan Jember, mereka meninggalkan Bali. Di perjalanan mereka mendapat pesan singkat dari Iwan.

Message;

hati-hati dijalan, semoga kalian bisa menikmati perjalanan kalian. Aku Cuma ingin Tanya satu hal kepada kalian, kenapa kalian bersikap seperti aku ini orang asing. Aku merasakan hal itu, kalian seperti mendiskriminasikan aku, kenapa? Apa karena aku gay?

Mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan, mereka telah membuat hati Iwan merasa bersalah atau malah merasa kecewa atas sikap mereka. Mereka tak seharusnya bersikap seperti itu kepadanya. Toh Iwan sudah memilih jalan hidupnya sendiri, bukankah Gay, Lesbian, Transgender itu tak ubahnya seperti orang cacat atau orang yang terserang leukemia? Semuanya sama, dan tidak ada perbedaan. Tapi kenapa harus didiskriminasikan?

Hendra mewakili semuanya mengirimkan sebuah pesan singkat yang isinya sudah sesuai dengan persetujuan.

Message;

Maaf wan jika kamu merasa begitu, kita sadar kita salah. Kita masih belum paham tentang sifat kamu, maka dari itu kita sedikit takut sama kamu. Tapi setelah kita tau kamu seperti apa, mungkin kita tidak akan bersifat dingin seperti itu, maaf ya wan, salam sama mbok, kalau ada waktu kita akan datang lagi.

Selang beberapa lama

Massage;

Ok, aku tunggu yah. Hati-hati dijalan. See U….

Mereka tak sempat lagi membalas sms itu, mereka telah menemukan tempatnya masing-masing untuk melepas lelah dengan memejamkan mata ditempat duduknya masing-masing menikmati gerakan laju bus yang semakin menjauh meninggalkan Denpasar.

Sesampainya di Jember sekitar pukul satu malam. Uang sudah menipis, dan hanya cukup untuk ongkos pulang ke Klakah bertiga. Dengan terpaksa perut tak terisi meski sudah berteriak dari tadi. Hanya tinggal seribu perak setelah semuanya habis dibayarkan kepada pak kondektur.

Klakah masih sepi, ketika kami harus turun dan menuju peraduannya masing-masing. Yanuar memilih tidur di rumah Rifki. Dan memang selama ini tempat tinggal Yanuar sementara jika berkunjung ke Klakah adalah kediaman Rifki.

Mata terpejam lelah, suasana rumah kembali terasa. Bali menyisakan kenangan indah, diantara ketiga sahabat, untuk sebuat cerita di masa depan kelak.

True Story 26 – 28 Oktober 2007

Untukmu Sahabatku.