Monday, February 1, 2010

Gejolak


Telah aku mencoba untuk membesitkan diri dalam kebohongan, namun hal itu membuatku rancu dan tak karuan adanya. Aku hanya bisa bermain dalam kemunafikan terus menerus tanpa suatu kenyataan belaka. Tapi hanyalah ini yang bisa aku perbuat, menyakiti diriku sendiri.

Aku seakan terpaku dan tak bisa melakukan apapun. Seolah pesona tangguhnya mendekapku erat pertanda aku tak boleh mengingkarinya. Bahkan senyum itupun yang membuatku tak sanggup menuai kata menjadi kiasan pun juga berkata ingkar bahwa aku lebih baik untuk tidak mengaguminya.

Malamku adalah sebuah tangisan kelam. Rautnya yang selalu membayang membuatku muak tak bertubi. Air mata adalah saksi, bahwa dirinya telah membuatku sedemikian tanpa perlu dikasihi. Lalu, masih pantaskah dia untuk berhak mendapatkan tempat dalam tubuh ku yang mulai renta?

“Tentu saja pantas!!!”

Begitulah nuraniku menjawab. Bahkan nadanya terlalu nyaring dari pada teriakan srigala padang pasir yang melolong dalam gelapnya gurun berdebu.

“Ini kesalahan!!!”

Kemudian akal sehatku memberontak demikian.

“Pikirkan, kau tak mungkin memilikinya utuh, karena dia adalah jiwa yang seharusnya berbeda.”

Aku mulai terkulai akan kebingungan diriku, apakah akal sehatku yang sudah tak mau bertuan denganku atau sebaliknya nuraniku yang telah mengingkari tubuhku?? Kalau sudah begini, aku akan membuka pintu kamarku, menuliskan sesuatu pada buku usangku yang tebal karena coretan penderitaan atas nama cinta yang berbeda. Semua ini karena ulahnya, dirnya dan bukan karena kesalahan atas diriku untuk mencintainya.