Monday, January 18, 2010

Mencintai Rifan

Masih terbesit dibayang lamun ketika aku mengenalnya pertama kali. Perawakan lugu masa-masa SMA. Kenapa aku harus mengenalnya? Bukankah tak mengenalnya itu akan lebih baik. Aku bukannya tak mengerti, ini cinta. Tapi kenapa harus kepadanya, kepada ukiran indah ilahi yang tak terbantahkan dalam setiap helai pahatannya.

Hidungnya yang memagut indah dengan polesan bibir ranum dan dagu yang sempurna. Sorot matanya tajam, menyimpan getar dalam setiap pemandangnya. Rifan, begitulah nama indah yang telah disemaikan dalam dirinya yang sempurna diantara dadanya yang membusung gagah dan aroma jantannya yang memukau.

Disini, didasar hati nun jauh dalam nurani. Mencintainya sama halnya seperti memburu kuda bersayap putih. Terbang kesana kemari menentukan titik fokus, agar peluru tepat tertembus dalam jiwanya. Menggelepar jatuh dan pasrah.

Seribu harap kuhaturkan padanya. Demi cinta yang tak mungkin terbalas. Aku seperti air tenang, yang akan tetap menjadi bening meski keruh yang akan muncul tiba-tiba, ketika sebongkah batu dilemparkan kedalamnya dan memercikkan. Aku bahkan merasa tuhan tidak akan pernah tau tentang apa yang aku rasakan. Tentang lumpur yang ada didalam dasar nurani yang hanya akan menyeruak tiba-tiba. Tapi mengapa Tuhan masih saja menetapkan batas dengan dalil-dalilnya yang sempurna? Dan yang kubutuhkan hanyalah sebongkah batu. Agar air itu tak lagi bening hingga aku kuasa menunjukkan cintaku itu.

Rifan pernah mengurai kata denganku. Ketika indah menggantung dalam tatapannya. Bercerita tentang kehidupan masa sekolah penuh asmara. Mengejar dewi jingga berambut panjang bermahkotakan tahta seribu kerajaan. Idaman lelanange jagad.

Sambutan hangat dari sang dewi, melukiskan betapa besarnya keagungan cinta. Layaknya tersirat kisah adam dan hawa. Dipisahkan tapi tetap dipertemukan.

Terbesit dalam hati kala itu. Apakah ini api? Kenapa harus ada api dalam pertemanan ini? Hingga akhirnya aku sadar. Aku tak bisa melepaskannya. Bahkan untuk sekejap dari pandangan batin dan raga. Aku cemburu, yah aku dihatui rasa cemburu. Namun hal itu tak berlangsung lama. Keputusan meninggalkan dewi jingga membuatku tersenyum. Sesak dada kian memudar berevolusi dalam kesejukan jiwa tak terpatri.

Dan Rifan adalah Rifan. Lukisan indah penguasa jagad. Diperebutkan tanpa celah, dalam hatinya sedikit congkak. Kadang dia membisu dan sedingin lautan es utara penuh misteri. Bukankah lelaki seperti itulah yang memiliki aura sebenarnya. Menurutku.
Kesadaran itu memuncak. Kala aku harus berpisah dengannya. Bukankah seharusnya aku harus tau lebih dahulu, sebelum akhirnya aku harus mengalami hal-hal yang seharusnya bisa aku alami sebelumnya. Andai waktu bisa aku putar kembali.

Sekarang, aku diposisikan sebagai penonton dalam sebuah arena besar dalam gelora. Mengamati setiap detail langkah kehidupannya dari sisi ketidakberdayaan. Sejengkal adalah lebih berarti dari pada aku akan kehilangan jejaknya selamanya.

Bagai sang maestro, dirinya selalu kupuja. Ku banggakan dalam setiap ucapan meski dalam hati. Bayangnya terlalu nyata dalam sebuah kesemuan belaka. Menghias dalam setiap malamku. Terbang melayang bahkan dalam setiap kesendirianku kini.

Raut wajahnya tak tergantikan. Tak ada gerhana yang membuat gelap. Emosinya membara seakan membangkitkan gairah hidupnya yang sedikit kacau balau. Meski ayahnya tiada, dia ayah bagi adik-adiknya. Itulah yang kusuka darinya. Kedigdayan sempurna.

Ketika aku harus berpagut dalam pertemuan yang tak tersengajakan olehnya, namun sudah aku rencanakan sebelumnya. Mulut menjadi kaku. Entah harus berkata apa. Menatapnya dalam-dalam. Salah tingkah aku dibuatnya.

Lemah aku tersungkur. Menatap galau jiwa karenanya. Bayangannya acap kali menghantuiku dengan senyuman indah mempesona. Aroma tubuhnya yang kuinginkan, lengkap dengan dekapan mesra menghangatkan setiap tubuh kami. Bersatu dalam raga dengan cinta dalam jiwa.

Tidak. Dan aku pun tak tahu harus bagaimana. Aku pun pernah mencoba melupakannya. Tapi itu hanya membuatku menderita. Karena hanya dia satu. satu-satunya jiwa yang mampu menjangkitkan virus ronanya dalam nuraniku. Ini masalah hati, dan harus dengan hati pulalah virus ini disembuhkan. Hatinya, hatiku dan itulah yang aku inginkan.

Jangan pernah kau tanyakan kenapa? Kau hanya perlu sedikit mengerti kenapa aku begitu memujamu. Karena keagungan pahatan indah dalam setiap detail parasmu. Bukan. Karena aku sudah terlanjur mengenalmu. Mengenalmu melalui celah perasaan terdalam. Melalui setiap relung yang berpendar merasuki setiap pori tubuhku. Menginfeksiku.

Aku menginginkanmu. Merasakan setiap waktuku bersamamu. Menghiburku dan menggantungkan segala kesahku akan dirimu. Ku sandarkan setiap gundah hatiku dalam pundakmu. Akan kau seka setiap air mata yang mengalir dari mataku. Dan kau akan tidak terima ketika aku disakiti. Karena aku adalah jiwa yang paling berharga dalam hidupmu. Seperti aku menganggapmu yang paling berharga. Itulah yang aku inginkan.

Tak pernah luluh aku sedikitpun. Meski aku mulai membenci kehidupanku. Apakah aku hidup hanya untuk membenci kehidupanku? Bukankah kehidupan itu harus dijalani dan bukan untuk dibenci. Sungguh celakalah aku.

Jiwa ini selalu meronta. Kadang tertawa mengejek melihat batinku tersiksa atas tragedi cinta tak sempurna. Meski aku berusaha tersenyum dan itu hanya pelipur lara semata. Aku telah diperbudak. Diperbudak cinta sesungguhnya. Cinta akan dirimu Rifan.

Aku tak lebih hanya seorang pengecut. Bersembunyi dibalik perasaanku sendiri. Karena dusta adalah derita. Butuh keberanian mengungkap semuanya. Dan aku hanyalah pecundang, yang tak punya keberanian.

Sungguh aku muak dengan semua ini. Mencintai namun tak pernah memiliki. Aku ingin berteriak dengan ketegaran hati kepada penciptanya. “kenapa kau menciptakan dia, jika hanya membuatku didera derita tak bertepih. Enyahkan dia dari kehidupanku. Aku mohon enyahkan dia!” Dan aku pun tersungkur lunglai, menatap semuanya, Semu*.



*Ide cerita : Curahan hati seorang wanita yang mengaku sahabat karibku.

Rifki Aris sandee...