Thursday, February 5, 2009

Cerpen Dari Bali


Kisah kecil sebuah persahabatan


Dericit pelan kereta mulai melaju, meninggalkan stasiun klakah. Yanuar, Rifky dan Hendra memulai perjalannya pertamanya menuju pulau dewata bali. Siluet fajar tergambar jelas di ufuk timur. Sawah masih basah, kereta pagi Probowangi membawa mereka 4 jam penuh ke arah banyuwangi.

“kau sudah menghubungi Iwan?” Rifki hanya sekedar mengingatkan, secara, kalau Iwan-nya gak ada, nah di bali mau nginep dimana?

Dengan sesegera mungkin Yanuar mengambil hp nya, pencet beberapa tombol kemudian mendekatkan hp ketelingnya.

Hendra terlihat sedang asyik menikmati perjalanan, kadang dia mengambil camera pocketnya untuk take gambar yang sekiranya good looking. Dia juga paling narsis diantara Yanuar dan Rifky. Maklumlah, sebelumnya dia juga pernah menjadi model, meski kelasnya kelas kabupaten, jadi nggak salah kalau dia suka photo-photo.

Disebelahnya, rifky berkonsentrasi dengan novelnya yang dari beberapa hari yang lalu belum kelar juga bacanya. Kacamatanya juga menandakan kalau dia emang sosok remaja yang bisa dibilang kutu buku gitu.

“gimana yan?”

“beres bos, kita tinggal masuk aja kok.” Tegas laki-laki perawakan tinggi kurus ini. Katanya sih dia mirip Fedi nuril, ada juga yang bilang dia mirip Ruben Joshua. Nah loh, berarti keren banget dong? Gak juga sih, biasa aja.

Tepat pukul 11.05 kereta sudah sampai di stasiun Banyuwangi Baru. Seperti semut keluar dari sarangnya, tua muda berebut turun.

“pelabuhan, pelabuhan” seru beberapa kuli angkat barang juga beberapa tukang becak. Tak ketinggalan, kenek angkot berebut penumpang tujuan kota.

Hendra menarik nafas panjang, “kita kemana Rif?”

Dari ketiganya, hanya rifki yang berpengalaman ke bali. Rifki memang pernah kerja di bali selama tiga bulan, namun karena hal yang tidak diinginkan terjadi, rifki terpaksa pulang. Bukan karena menghamili bule atau putri bali, tapi rifki sudah putus asa tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang layak di bali. Bali yang diharapkan membawa rezeki malah membawa bencana.

Dari stasiun bali, sekitar lima menit jalan kaki, pelabuhan ketapang sudah didepan mata. Ditiga dermaga sudah ada kapal yang bersandar. Mobil, Bus, Truk dan kendaraan lain mengantri masuk kedalam kapal.

“akhirnya, bali men..” seru Hendra, tampak senyum riang diwajahnya. Birunya selat bali, membuat mereka langsung bergegas ingin menyebrang.

Dua puluh menit menyebrang, menyisakan kenangan indahnya selat bali. Kini mereka harus mengambil kendaraan lain, bus mini. Dari terminal Gilimanuk, dengan 20 ribu rupiah mereka akhirnya meluncur ke arah Denpasar kurang lebih tiga jam.

Diperjalanan, dengan bibir sedikit terbuka yanuar tidur terlelap, Hari sudah semakin petang ketika bus memasuki terminal ubung, Denpasar. Inilah akhir dari perjalan panjang yang melelahkan itu. Dan besok mereka akan menikmati bali yang sesungguhnya.

Rifky tak tau seperti apa Iwan, begitu pun Hendra, hanya Yanuar yang mengenalnya. Iwan teman Yanuar di Banyuwangi. Maklum Yanuar memang penduduk asli Banyuwangi yang bertemu dengan dua sahabatnya Rifki dan Hendra di Lumajang tanpa disengaja.

Menurut cerita Yanuar, sesosok Iwan adalah sosok orang yang pernah menyatakan cinta padanya. Oh, tuhan, kalau begitu Yanuar homo dong? Ah, nggak juga. Yanuar bukan homo, siapa juga yang mau menjalani cinta terlarang itu. Dengan pelan, Otomatislah yanuar menolak dengan sopan permintaan Iwan, dan untunglah persahabatan mereka nggak hancur, Iwan mengerti. Teman-teman yang lain yang juga sudah tau, Iwan itu seperti apa dan bagaimana, so Iwan tetap diterima dalam teman-temannya meski memiliki kelainan hati dan juga tak seharusnya dia didiskriminasikan. Setelah lulus sekolah, Iwan langsung memutuskan untuk kerja di bali ikut kakak-kakaknya yang sudah mendiami bali sejak lama.

Setelah menunggu beberapa lama, Iwan datang juga dengan sepeda motornya. Hidungnya yang agak maju, serta penampilannya orang nggak akan tau kalau iwan itu seorang gay. Tapi biarlah, orang punya jalan hidupnya masing-masing. Life is choise.

20 menit kearah Sanur, akhirnya sampai juga di kediamannya. Tas ransel dipunggung sudah terasa amat berat, badan gerah, juga bau. Beberapa mata memandang, maklum rumahnya dekat dengan beberapa tempat kos. Bahakan ada yang berceloteh “waduh wan, dapat brondong-brondong dari mana?” mereka bertiga hanya diam mengikuti alur berikutnya, sempat terpikir dalam hati rifki, apakah kita disangka gay juga yah??

Dengan ramah, mbok nah kakak tertua Iwan menyambut mereka. Setelah membersihkan badan dan lain-lain, terbesit perasaan khawatir diantara mereka, masih tak percaya dengan kehadiran Iwan. Untunglah, malam itu tak ada kejadian yang patut dikhawatirkan selain tidur nyenyak.

Rifky tau, semalaman Iwan pergi entah kemana, dan pulang sekitar subuh, maklum hanya Rifky yang mempunyai kepekaan super baik dalam tidurnya maupun hidupnya. Dilihat dari penampilan dan aroma minuman keras, bisa diterka, Iwan telah menghabiskan malamnya di diskotik.

Ayam telah berkokok, mereka tak mau ketinggalan suasana sunrise pantai sanur, meskipun hanya cucimuka seadanya, ketiga sahabat itupun berlari menyusuri jalan-jalan bersih kearah sanur. Betapa indahnya Pantai Sanur pagi hari, panorama matahari terbit menyisakan siluet fajar yang indah dan debur ombak diantara pasir putih memecah karang.

“nggak nyangka, kita bisa kesini ya ki.” ucap yanuar yang sedang bermain-main dengan bintang laut. Di kejauhan hendra asyik bermain-main dengan ombak.

“kamu masih belum tau kute, uluwatu dan yang lain-lain. Lebih bagus dari pada ini yan.” Rifki sok tau.

Sekembalinya dari sanur, Iwan masih saja tergeletak tidur. Untunglah Yanuar ingat, hari itu hari ulang tahunya. Rifki sudah membeli beberapa telur dan tepung, buat surprise pagi hari. Seperti serangan akan melakukan serangan fajar, mereka merencanakan sesuatu.

“wan, bangun yuk, wan,” yanuar mencoba membangunkannya sesuai rencana.

Iwan mengucek matanya, kesadarannya belum lengkap ketika dia memilih untuk duduk sejenak dan beranjak ke kamar mandi. Sesegera mungki yanuar mengikutinya, dari depan kamar mandi hendra melemparkan tepung yang telah dibasahi sebelumnya, yanuar dan rifki melempar tepat telur ayam kearah kepala dan tubuhnya.

“Happy birthday….” teriak mereka kompak. Kamar jadi ricuh, iwan berusaha membalas, teriakan, tawa canda pagi hari, hingga akhirnya semuanya pun berputih-putih dan beramis-amis ria.

Semuanya berakhir, sesuai rencana, hari ini mereka ber-empat termasuk Iwan akan berkeliling bali, tapi, habis membersihkan semuanya, Iwan kembali keperduannya, Tidur. Iwan hanya pesan, Jam empat harus jemput dia dan menikmati sunsite di kute bersama.

Tanpa pikir panjang, mereka pun melaju dengan motor. Sebagai penunjuk arah Rifki memilih mengendarai motornya sendirian. Sedang Hendra dan Yanuar memilih berboncengan. Melewati By Pass Ngurahrai, motor melaju kencang kearah pantai kute. Keramaian mulai tampak ketika melewati jalan Bakung Sari terus melewati pasar seni kute belok kearah kute square dan melaju menuju pantai. Maklum, kute sudah terkenal di seantero dunia, pantai ini tak pernah sepi, meskipun cuaca panas sekalipun, bule-bule australi, amerika, eropa, dan asia bahkan local berkumpul disini dan berjemur, lay under sunlight.

Dari kuta beach, mereka meluncur kearah Jimbaran. Tujuan : Nusa Dua. Suasana Nusa Dua memang berbeda dengan suasana Pantai lainya. Sebelum memasuki areal pantai kita disuguhi suasana Taman yang asri dan tertata rapi mempesona. Di sana juga berdiri hotel-hotel berbintang juga shopping area di dalamnya.

Pantainya bersih dan lumayan sepi dari pada kute yang sangat ramai disiang hari. Terdapat dua pulau kecil di Nusa Dua dan mungkin itulah kenapa nama pantai ini disebut Nusa Dua. Terik matahari tak membuat mereka berteduh, tetapi mereka malah asiik manghabiskan waktunya bermain pasir, menerjang ombak dan yang terpenting adalah taking picture’s.

Hampir dua jam meraka disana, kemuadian mereka beranjak ke Pura Uluwatu yang hanya berjarak 30 menit by motor. Jalannya penuh tanjakan dan menawarkan pemandangan alami yang indah dan mengagumkan. Melewati Universitas Udayana, hingga Garuda Wisnu Kencana dan sampailah di tempat tujuan.

Uluwatu adalah salah satu pura yang berdiri tepat di tebing terjal. Siapa saja yang memasuki areal Pura Uluwatu wajib mengenakan sarung yang sudah disediakan pihak Pura. Kera-kera berkeliaran dimana-mana, tenang dan tak membuat mereka merasa terganggu itulah kuncinya supaya mereka juga merasa tenang, tapi, terkadang mereka tiba-tiba menyambar makanan beberapa pengunjung.

Puas di Uluwatu, mereka meneruskan perjalannya ke Dream Land tak jauh dari Uluwatu. This is real paradise. Indahnya pantai diantara terbing-tebing terjal nun tinggi menciptakan pemandangan yang luar biasa. Diantara karang-karang apik, putih besih pasir dan debur ombak yang sempurna. Inilah dunia, dunia mimpi.

Hampir lima jam mereka menghabiskan waktu disini. Puas menikmati keindahan yang tak terkalahkan apapun. Meraka pun harus segera beranjak. Sebentar lagi matahari bakal terbenam, moment itu jangan sampai terlewatkan, dan kute adalah tempat sesungguhnya untuk menikmati hal tersebut.

Dengan menancap gas, motor melaju. Rifki memilih melaju terlebih dahulu, dia ingat mereka harung menjemput Iwan terlebih dahulu, itulah sebabnya Rifki menancapkan gasnya dalam-dalam.

Dalam perjalanan, Yanuar dan Hendra tak kunjung terlihat dalam kaca spion setelah ditikungan itu, merasa khawatir Rifki memutuskan berhenti sejenak di pintu gerbang Pecatu. Beberapa saat menunggu, Hendra dan Yanuar tak sedikit pun menunjukkan batang hidungnya. Hp mereka juga tidak ada yang aktif. Tanpa pikir panjang Rifki kembali arah.

Agak jauh dari Pecatu, Rifki menemukan mereka sedang mendorong motor yang dikendarainya.

“kalian kenapa?” Tanya rifki sedikit kaget melihat yanuar berjalan dengan sedikit pincang dan ada luka lecet di siku hendra.

“kita terjatuh tadi, aku berusaha memanggil kamu, tapi kamu nggak dengar,” jelas Yanuar sembari memposisikan dirinya duduk dibawah pohon bersarung kotak putih hitam khas bali.

Untunglah sepeda yang dipakai hanya patah sepion, untung yang kedua sepeda yang kendarai bukan sepeda sewaan seperti yang Rifki pakai, dan untung yang ketiga, mereka selamat, tak ada cedera serius diantaranya.

“tadi pas kita terjatuh, ada orang bali asli yang nolongin kita, tau nggak dia bilang apa?” yanuar berceloteh.

“iya beneran ki, ternyata kalo kita lewat ditikungan itu kita kudu bunyi’in klakson, katanya sih ada penunggunya,” sambung hendra.

Alis Rifki terangkat, tiba-tiba tersenyum kecil, “sudahlah, bali memang menyimpan misteri dibalik keindahannya, dan mungkin ini pelajaran buat kalian,”

“apa ini gara-gara kita gak bilang terus terang tentag kepergian kita sama orang tua ku ya ki?” hendra tiba-tiba berpikir yang aneh-aneh, tapi memang benar, kita hanya pamit mau mengunjungi rumah yanuar selama beberapa hari di Banyuwangi bukan ke Bali. Bisa jadi Ini peringatan untuk segera pulang.

Dari bengkel ke bengkel, mencari onderdil yang murah, akhirnya kelar juga. Dan mereka pun memutuskan untuk segera kembali pulang. Hari sudah petang, matahari otomatis sudah terbenam di ujung Kute.

Wajah mereka terlihat berbeda dari sebelumnya. Lecek, bau dan asin. Seharian mereka mandi air laut. Seperti orang tak bersalah, yanuar menceritakan semuanya. Untunglah Iwan mengerti, lain lagi hendra yang semenjak tiba di rumah, hp nya tak henti-hentinya berdering. Keluarganya memastikan keberadaannya.

Mbok nah penuh perhatian merawat luka Yanuar dan Hendra. Mbok nah merasa mereka sudah seperti adiknya sendiri. Keesokan harinya, setelah memuaskan diri di Sanur, setelah membeli beberapa cendera mata buat kenang-kenangan, juga buat kedua sahabat perempuan mereka. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk pulang.

Mbok nah melarang kami pulang, mengingat kondisi Yanuar dengan lukanya yang membuat jalannya sedikit pincang. Tapi mau bagaimana lagi, mereka memilih pulang, apalagi keluarga Hendra memintanya segera pulang.

Meskipun hanya menikmati beberapa objek wisata, kepuasan akan Bali sedikit merasuk dihati mereka. Dengn menggunakan Bus tujuan Jember, mereka meninggalkan Bali. Di perjalanan mereka mendapat pesan singkat dari Iwan.

Message;

hati-hati dijalan, semoga kalian bisa menikmati perjalanan kalian. Aku Cuma ingin Tanya satu hal kepada kalian, kenapa kalian bersikap seperti aku ini orang asing. Aku merasakan hal itu, kalian seperti mendiskriminasikan aku, kenapa? Apa karena aku gay?

Mereka menyadari apa yang telah mereka lakukan, mereka telah membuat hati Iwan merasa bersalah atau malah merasa kecewa atas sikap mereka. Mereka tak seharusnya bersikap seperti itu kepadanya. Toh Iwan sudah memilih jalan hidupnya sendiri, bukankah Gay, Lesbian, Transgender itu tak ubahnya seperti orang cacat atau orang yang terserang leukemia? Semuanya sama, dan tidak ada perbedaan. Tapi kenapa harus didiskriminasikan?

Hendra mewakili semuanya mengirimkan sebuah pesan singkat yang isinya sudah sesuai dengan persetujuan.

Message;

Maaf wan jika kamu merasa begitu, kita sadar kita salah. Kita masih belum paham tentang sifat kamu, maka dari itu kita sedikit takut sama kamu. Tapi setelah kita tau kamu seperti apa, mungkin kita tidak akan bersifat dingin seperti itu, maaf ya wan, salam sama mbok, kalau ada waktu kita akan datang lagi.

Selang beberapa lama

Massage;

Ok, aku tunggu yah. Hati-hati dijalan. See U….

Mereka tak sempat lagi membalas sms itu, mereka telah menemukan tempatnya masing-masing untuk melepas lelah dengan memejamkan mata ditempat duduknya masing-masing menikmati gerakan laju bus yang semakin menjauh meninggalkan Denpasar.

Sesampainya di Jember sekitar pukul satu malam. Uang sudah menipis, dan hanya cukup untuk ongkos pulang ke Klakah bertiga. Dengan terpaksa perut tak terisi meski sudah berteriak dari tadi. Hanya tinggal seribu perak setelah semuanya habis dibayarkan kepada pak kondektur.

Klakah masih sepi, ketika kami harus turun dan menuju peraduannya masing-masing. Yanuar memilih tidur di rumah Rifki. Dan memang selama ini tempat tinggal Yanuar sementara jika berkunjung ke Klakah adalah kediaman Rifki.

Mata terpejam lelah, suasana rumah kembali terasa. Bali menyisakan kenangan indah, diantara ketiga sahabat, untuk sebuat cerita di masa depan kelak.

True Story 26 – 28 Oktober 2007

Untukmu Sahabatku.


0 comments: